Sunday 17 July 2016

Cerita : Pendapat seorang sufi

ATTAR berarti "pewangi". Itulah nama mashur dari Farid ud-Din
Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim, penulis sufi dari Nishapur,
Persia Timur Laut. Ia kira-kira dilahirkan di tahun 1120, di
tempat kelahiran pujangga Omar Khayyam. Ia meninggal konon 100
tahun kemudian, terbunuh oleh pasukan Jengis Khan yang menyerbu.

Menurut kisah, pada suatu hari Attar duduk-duduk di kedai
ayahnya. Seorang darwish (sufi) lewat. Ia mencium bau harum
semerbak dan menjenguk ke kedai itu Ia menarik nafas dalam-dalam
dan menangis. Attar menyangka bahwa tamu yang berpakaian bulu
domba itu berbuat begitu karena ingin menarik belas kasihan.
"Pengemis" itu pun diusirnya. Tapi darwish itu berkata:
"Baiklah. Tak ada yang menghalangiku untuk meninggalkan pintumu,
bahkan untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Yang aku
miliki cuma alat pintal tua. Tapi engkau, wahai Attar,
menyedihkan hatiku. Bagaimana kau akan dapat memalingkan minatmu
kepada soal maut, bagaimana kau bisa menafikan benda-benda
duniawi ini".

Attar menjawab, bahwa ia telah berjanji akan mengakhiri hidupnya
dalam kemiskinan dan kebahagiaan seorang darwish. "Baiklah, kita
lihat saja nanti", jawab sang darwish. Ia mendadak jatuh dan
meninggal.

Peristiwa ini sangat membekas pada diri Attar. Ia pun
meninggalkan kedai ayahnya, pergi berguru kepada Syeh
Bukn-ud-din. Ia mempelajari, seraya berlatih, sufisme. Sesudah
itu ia pun mengadakan perjalanan ke pelbagai negeri, belajar di
berbagai biara, mengumpulkan karya-karya para ahli tasawuf,
sebelum akhirnya balik ke Nishapur sampai akhir hidupnya. Ia
mengarang kira-kira 200.000 sajak di samping banyak pula karya
prosa.

Karyanya yang tersohor tentu saja Mantiq Ut-Tair, atau
"Percakapan Burung-Burung". Semua burung dari seluruh pelosok
bumi, baik yang dikenal atau yang tidak -- begitulah awal cerita
Attar -- berkumpul. Mereka mencari seorang raja bagi mereka.

Itu tak berarti para burung lalu mengadakan pemilu. Seekor hupu
yang luarbiasa menjanjikan kepada mereka untuk menuju ke
mahligai Raja Burung Simurgh, di balik pegunungan Kaf. Mungkin
dialah lambang Tuhan, dengan siapa burung-burung itu kemudian
jumbuh, dalam manunggaling kavula-gusti, setelah perjalanan
panjang yang mungkin telah mengilhami pengarang-pilot Richard
Bach untuk buku larisnya tentang seekor camar laut, Jonathan
Livingstone Seagull.

Selama perjalanan itu, sang hupu mengajar, dan menceritakan
pelbagai anekdot. Salah satu yang menarik ialah tentang Sultan
Mahmud. Sebelum berperang kembali dengan susah-payah untuk
mengalahkan orang Hindu, Mahmud bersumpah bahwa bila ia menang
ia akan menghadiahkan hasil rampasan perang kepada para darwish.
Ia menang. Tapi ketika ia akan mengirimkan harta benda itu
kepada para darwish, para perwiranya memprotes. Sultan pun
bimbang.

Kepada siapa ia harus minta pertimbangan? Akhirnya ia meminta
keputusan Bu Hassein, seorang sufi. "Karena ia tak takut kepada
Sultan atau pun kepada tentara, pendapatnya pasti tak memihak".
Agaknya Attar ingin menunjukkan bahwa seorang darwish yang tak
terikat kepada hasrat duniawi, yang "idiot", tak berpendidikan
tapi bijaksana, lazimnya seorang yang bersedia untuk berani.

Dan seorang Sultan memang memerlukan orang yang tak takut.
Seorang Sultan tidak bisa baik hanya dengan mereka yang takut.