Wednesday 29 April 2015

Cerita : Mereka bukan anak-anak

Seorang tokoh muda anggota parlemen mengalami sesuatu yang
agak luarbiasa: ia ketemu rakyat. Dengan tergopoh-gopoh hal ini
diceritakannya kepada seorang kenalannya.

"Sudah sekian tahun saya tak pernah naik bis kota. Tapi pagi itu
mobil mogok di tengah jalan, dan tak ada taxi. Maka saya cegat
bis. Dan di dalamnya saya ketemu rakyat".

"Rakyat?", tanya kenalannya, seorang tokoh pengusaha muda.
"Betul, eh?"

"Betul. Dalam bis itu belum banyak penumpang. Di sebelah kiri
saya agak ke depan, seorang penyapu jalan yang sudah keriput
parasnya masih tampak gagah memakai topi dinas. Di dekatnya
tukang kayu. Ya, ia pasti tukang kayu: ia menyisipkan pahat
besar di sabuk yang melingkari baju surjan luriknya. Ia menyedot
sejenis rokok. Di jendela depan di belakang sopir seorang
penjual mainan kertas meletakkan jualannya di sampingnya - dan
tiba-tiba tampak kertas merah-oranye yang kasar itu seperti
dekorasi penting dalam ruang bis yang biru muram itu . Di luar,
pagi sudah seperempat jalan. Hari itu hari Minggu, jalanan agak
sepi . . ."

"Kedengarannya menarik betul pengalamanmu", kata temannya.

"Tapi ada yang agak embarassing", sambung si anggota parlemen.
"Waktu itu, kondektur, anak muda sekitar 20 tahun, menyodorkan
karcis. Gugup juga saya menggapai-gapai dompet. Sebab saya harus
berfikir: berapa, sih, sekarang harga karcis bis?

"Hampir saya berikan uang Rp 500, dengan harapan jumlah itu tak
terlalu besar untuk diberi uang kembali dan tak terlalu kecil
hingga jadi kurang. Tapi kebetulan jari saya menyentuh uang
receh Rp 100. Saya ulurkan agak ragu-ragu . . . ternyata
diambil, dan karcis saya terima berikut uang kembalinya. Tanpa
menghitung berapa uang kembali itu, saya masukkan semuanya ke
saku. Saya berlagak seperti orang yang sudah biasa naik bis.
Meskipun akibatnya saya tak tahu persis sampai sekarang harga
karcisnya . . . "

Suaranya tidak menunjukkan rasa geli. Ia memandang ke luar
jendela kantor yang ber-AC itu, terdiam. Di luar tampak rumput
halaman yang hijau, pohon dan bunga-bunga.

anggota parlemen muda itu ikut kampanye. Di suatu penerbitan ia membaca bahwa pemilu adalah suatu pendidikan politik -- dan ia setuju. Tapi baginya itu bukan pendidikan politik untuk rakyat. Sebab rakyat itulah yang mendidik saya,
begitu kata tokoh kita ini dalam hati. Malam itu, ia habis
kampanye dalam satu rapat yang hangat.

Di sana ia telah mengambil pelajaran lain: Kampanye ini mungkin
omong kosong saya, tapi bukan omong kosong rakyat. Rakyat toh
berteriak dengan antusias ketika orang menyerukan tentang
korupsi atau tentang perbedaan perlakuan hukum dan
kesejahteraan. Artinya: mereka punya respons. Mereka punya
perasaan dan persepsi, yang tumbuh dari pengalaman selama ini --
pengalaman yang merupakan sejarah yang tak pernah direkam,
didengarkan, atau diberi hak. Saya belajar banyak dari sana.

Maka esok harinya ia berangkat ke suatu acara rapat umum lagi.
Di depan corong pengeras suara, ia menyaksikan ratusan orang
menantikan suaranya -- bagaikan para juri yang awas. Tapi ia
kini sudah bisa mulai secara lebih baik: "Saudara-saudara --
saya adalah murid saudara-saudara. Maafkanlah justa saya. Saya
telah bertemu rakyat, dan ternyata ia bukan anak-anak .... "

0 comments:

Post a Comment