Saturday 16 July 2016

Cerita : Belajar dari sejarah

SEJARAH bisa saja dimulai dengan salah sangka. 15 Juli 1945,
para pendiri Republik Indonesia berdiskusi tentang suatu
konstitusi yang akan rnereka jadikan dasar bagi negara yang
tengah mereka siaPkan. Pembicaraan pun menyangkut soal "hak-hak
warganegara" --Yang kini bisa disebut sebagai "hak-hak asasi".
Ada dua pendapat yang saling berhadapan.

Di satu pihak, Bung Karno yang menolak. Baginya hak-hak asasi
ini mewakili paham individualisme, dan bertentangan dengan paham
kekeluargaan yang mendasari konstitusi yang sedang dirancang. Di
pihak lain, Bung Hatta setuju. Baginya hakhak itu perlu
dicantumkan untuk menjaga agar negara jangan jadi negara
"penindas."

Orang kini bisa mengatakan bahwa Bung Hatta ternyata benar, dan
Bung Karno salah. Namun kesalahan dapat juga direlatifkan.
Dibicarakan 32 tahun yang lalu diskusi itu memang terasa
akademis. Patriot mana Yang waktu itu bisa percaya-apalagi Bung
Karno -- bahwa bangsanya sendiri bisa juga menindas. Pada saat
berkuasa? Nasionalis mana yang tak melihat dirinya sebagai
bagian dari satuan manusia yang unik, yang bisa menghindarkan
kesalahan penjajah di masa silam?

Bung Karno waktu itu tentunya hanya melihat manis dan rukunnya
bangsa Indonesia, dan pengabdian para pemimpinnya. Ia mengira
bahwa yang harus dijaga hanyalah keharmonisan masyarakat, dalam
menghadapi individualisme. Ia belum melihat, bahwa ternyata juga
perlu dilindungi nasib orang seorang, dari cengkelaman
kekuasaan, yang tak jarang memakai nama "rakyat" atau
"masyarakat". 32 tahun yang silam belum terdengarkan tangis
seorang ayah, Yang digusur begitu saja dari nasib baik, oleh
bangsanya sendiri, dan tak berdaya.

Dalam hal seperti itu generasi sekarang lebih "beruntung". Kita
lebih banyak bahan. (,enerasi sekarang lebih banyak bisa
mempelajari hasil penelitian tentang masyarakatnya sendiri, yang
di zaman dulu belum pernah dilakukan. Generasi kini juga dapat
melihat apa yang dulu tak terlihat.

Dulu siapa bicara soal polusi, kehidupan Yang konsumtif,
kemungkinan habisnya minyak bumi dan bahaya ledakan penduduk?
Dulu siapa yang menyimak "Revoiusi Kebudayaan" RRT, buruknya
pengalaman pembangunan Brazil, dan seramnya pemerintahan
Kamboja? Dulu siapa melihat kegagalan Pakistan, tragisnya para
pengungsi Vietnam, dan meluasnya korupsi di Indonesia?

Pemimpin dan pemikir besar belajar banyak, taPi sebuah bangsa
belajar lebih banyak lagi. Kita semua kini terdiri dari sejarah
yang lebih lanjut. Kita semua terdiri dari bermacam aliran
pikiran, latar belakang sosial-kulturil, dan berbagai
kepentingan, yang -- jika didengarkan semua secara seksama dan
bebas -- akan memperkaya batin kita.

Pemikir-pemikir yang lahir di waktu lampau bisa memperkaya batin
kita, jika kita memandang mereka dengan sikap seorang murid.
Tapi bukan pribadi mereka yang jadi guru, melainkan pengalaman
mereka -- termasuk pengalaman mereka dalam kesalahan dan
keterbatasan. Mereka juga bisa memperkaya jiwa kita, jika kita
tak menganggap bahwa yang satu harus menghilangkan yang lain --
bahwa antara paham yang berbentrokan dulu tak akan bisa ada
rekonsiliasi.

Semesta sejarah republik betapa pun tak bisa dijawab hanya oleh
satu pikiran dari satu zaman. Satu orang tak ada yang mutlak
besar pikirannya hingga terlalu besar pula kesalahannya. Kita
akan jadi miskin hati kalau kita tidak mau merelatifkan
kesalahan dan kebenarannya.

Dengan sikap itu, kita lihat bagaimana zaman ini menyediakan
kesempatan untUK bertukar pikiran dengan lebih rendah hati
karena di hadapan kita masalah-masalah demikian hebatnya. Zaman
ini juga mendesakkan pentingnya buah pikiran yang lahir dari
pengalaman, dan tukar pikiran itu, karena te!ah terlalu banyak
terdengar ruah pikiran yang sebenarnya hana berdasar keinginan
melulu.

Entah jauh di dalam mana, Indonesia mengolah pemikir-pemikir
baru.

0 comments:

Post a Comment