Sunday 17 July 2016

Cerita : Pendapat seorang sufi

ATTAR berarti "pewangi". Itulah nama mashur dari Farid ud-Din
Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim, penulis sufi dari Nishapur,
Persia Timur Laut. Ia kira-kira dilahirkan di tahun 1120, di
tempat kelahiran pujangga Omar Khayyam. Ia meninggal konon 100
tahun kemudian, terbunuh oleh pasukan Jengis Khan yang menyerbu.

Menurut kisah, pada suatu hari Attar duduk-duduk di kedai
ayahnya. Seorang darwish (sufi) lewat. Ia mencium bau harum
semerbak dan menjenguk ke kedai itu Ia menarik nafas dalam-dalam
dan menangis. Attar menyangka bahwa tamu yang berpakaian bulu
domba itu berbuat begitu karena ingin menarik belas kasihan.
"Pengemis" itu pun diusirnya. Tapi darwish itu berkata:
"Baiklah. Tak ada yang menghalangiku untuk meninggalkan pintumu,
bahkan untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Yang aku
miliki cuma alat pintal tua. Tapi engkau, wahai Attar,
menyedihkan hatiku. Bagaimana kau akan dapat memalingkan minatmu
kepada soal maut, bagaimana kau bisa menafikan benda-benda
duniawi ini".

Attar menjawab, bahwa ia telah berjanji akan mengakhiri hidupnya
dalam kemiskinan dan kebahagiaan seorang darwish. "Baiklah, kita
lihat saja nanti", jawab sang darwish. Ia mendadak jatuh dan
meninggal.

Peristiwa ini sangat membekas pada diri Attar. Ia pun
meninggalkan kedai ayahnya, pergi berguru kepada Syeh
Bukn-ud-din. Ia mempelajari, seraya berlatih, sufisme. Sesudah
itu ia pun mengadakan perjalanan ke pelbagai negeri, belajar di
berbagai biara, mengumpulkan karya-karya para ahli tasawuf,
sebelum akhirnya balik ke Nishapur sampai akhir hidupnya. Ia
mengarang kira-kira 200.000 sajak di samping banyak pula karya
prosa.

Karyanya yang tersohor tentu saja Mantiq Ut-Tair, atau
"Percakapan Burung-Burung". Semua burung dari seluruh pelosok
bumi, baik yang dikenal atau yang tidak -- begitulah awal cerita
Attar -- berkumpul. Mereka mencari seorang raja bagi mereka.

Itu tak berarti para burung lalu mengadakan pemilu. Seekor hupu
yang luarbiasa menjanjikan kepada mereka untuk menuju ke
mahligai Raja Burung Simurgh, di balik pegunungan Kaf. Mungkin
dialah lambang Tuhan, dengan siapa burung-burung itu kemudian
jumbuh, dalam manunggaling kavula-gusti, setelah perjalanan
panjang yang mungkin telah mengilhami pengarang-pilot Richard
Bach untuk buku larisnya tentang seekor camar laut, Jonathan
Livingstone Seagull.

Selama perjalanan itu, sang hupu mengajar, dan menceritakan
pelbagai anekdot. Salah satu yang menarik ialah tentang Sultan
Mahmud. Sebelum berperang kembali dengan susah-payah untuk
mengalahkan orang Hindu, Mahmud bersumpah bahwa bila ia menang
ia akan menghadiahkan hasil rampasan perang kepada para darwish.
Ia menang. Tapi ketika ia akan mengirimkan harta benda itu
kepada para darwish, para perwiranya memprotes. Sultan pun
bimbang.

Kepada siapa ia harus minta pertimbangan? Akhirnya ia meminta
keputusan Bu Hassein, seorang sufi. "Karena ia tak takut kepada
Sultan atau pun kepada tentara, pendapatnya pasti tak memihak".
Agaknya Attar ingin menunjukkan bahwa seorang darwish yang tak
terikat kepada hasrat duniawi, yang "idiot", tak berpendidikan
tapi bijaksana, lazimnya seorang yang bersedia untuk berani.

Dan seorang Sultan memang memerlukan orang yang tak takut.
Seorang Sultan tidak bisa baik hanya dengan mereka yang takut.

Cerita : Pemilu

SAMBIL mengunyah rujak cingur di restoran kecil itu seorang
teman bercerita tentang pemilu. Ceritanya pasti khayal dia
selalu begitu tapi yang hadir toh mendengarkan.

"Di lapangan Semprul", katanya memulai, "minggu lalu ada dua
kampanye sekaligus. Yang sebelah sini kampanye PPP. Yang sebelah
sana kampanye Golkar . . . ".

"Bentrokan . . . eh, percikan?", tanya salah satu pendengar.

"Nggak. Cuma kedua belah fihak balas membalas meneriakkan
slogan. Juru kampanye PPP berteriak: Fisabilillah!, dan massanya
pun menyahut: Fisabilillah!. Dan juru kampanye Golkar pun segera
membalas teriak . . . "

"Fisabilillah juga?"

"Bukan. Feasibility! Feasibility!, teriak mereka".

Semua pendengar ketawa.

"Leluconmu ada mencerminkan fenomen politik kita kini",
tiba-tiba seorang pendengar bersuara. Ia berkacamata. Mengingat
ia tadi naik mobil yang di kaca belakangnya ditulis "University
of Rawabelong", pasti dia sarjana. Karena itu barangkali hadirin
yang lain kini menyimak apa yang mau dikatakannya.

"Begini", katanya sambil melemparkan tusuk gigi. "Dewasa ini,
sedang diuji betulkah ideologi sudah mati di Indonesia.
Sebenarnya kata 'ideologi' itu bisa meleset. Yang mungkin ada
kini ialah serangkaian simbul-simbul, yang diterima bersama oleh
sekelompok orang, yang karena sejarah hidup mereka, jadi bagian
dari diri mereka. Ikatan dengan rangkaian simbul itu mungkin
tetap kuat. Ketika para intelektuil Orde Baru sepuluh tahun yang
lalu merumuskan gagasan politik mereka, mungkin mereka keliru.
Apa yang lazim disebut 'ideologi' itu belum mati karena susunan
sosial belum berubah, karena sejarah tak bisa diingkari -- juga
karena ternyata rakyat banyak, biarpun di desa-desa, bukan
sesuatu yang polos. Bukan sesuatu yang warnanya ditentukan oleh
para politisi, yang datang dari kota, dari atas, melainkan
sesuatu yang warnanya asli, ditentukan oleh lingkungan hidup
mereka . . . "

"Jadi anda berpendapat kaum intelektuil Orde Baru dulu itu
salah?"

"Saya tidak tahu, saya tidak tahu", kata si kacamata sambil
mengibas-ngibaskan serbet (dan butir-butir nasi berterbangan).
"Saya hanya bicara dengan kata 'mungkin'. Saya 'kan sarjana.
Kita masih harus melihat bagaimana hasilnya nanti".

"Lalu bagaimana penilaian anda tentang kampanye kini?".

"Yang pasti, pemilu sekarang bukan pemilu adu program yang
terbaik. Tapi tak mengapa. Program yang baik perlu juga
mengandung adanya kepercayaan bahwa ia bukan omong kosong. Maka
pada mulanya adalah kepercayaan, bukan program itu sendiri. Dan
kepercayaan- bisa timbul jika ada hubungan batin antara si
pembawa program dengan si pemilih. Hasil pembangunan Yang sudah
ada saja belum tentu menjamin kepercayaan itu. Hasil
pembangunan, biarpun baik, bahkan sering menimbulkan problim
baru, tuntutan baru . . . "

"Ah, saudara tidak suka Golkar, ya?".

"Lho, tidak begitu", si sarjana menangkis. "Saya bahkan
menggaris-bawahi bahwa banyak hasil pembangunan dari pemerintah
yang praktis sama dan sebangun dengan Golkar kini. Hasil itu
memang belum merata, tapi toh nyata. Namun Golkar tidak dapat
hanya membanggakan itu. Perlu didapatkan, simbul simbul apa yang
sama-sama mengikat pimpinan dengan hati massa rakyat. Tanpa
simbul itu, tanpa ikatan hati, pertalian mungkin tak tahan lama
.... "

Cerita : Husni Alatas

KEPADA kenang-kenangan almarhum Husni Alatas nomor TEMPO kali
ini kami persembahkan.

Berhari-hari kami percaya, berharap, dan bercerita, bahwa dia
masih hidup di hutan itu. Ternyata tidak. Ia menyebut nama Tuhan
di hari pertama kecelakaan di lereng G. Tinombala itu, lalu
menutup hari terakhir hidupnya. Ia tidak bersama kita lagi. Ia
sudah bersama mereka yang kekal.

Ia adalah salah satu contoh yang baik dari seorang koresponden
di daerah. Ia mencintai daerahnya, la mencintai flora dan
faunanya. Ia mencintai lereng bukit dan semak itu. Ia uga
mencintai mereka yang hidup di sana -- dengan segala problem
mereka. Ia banyak berjalan, mendengar, lalu menulis. Orang yang
berbicara halus ini seperti banyak mengendapkan gejolak dari
hidupnya sendiri dan dari hidup orang di sekitarnya.

Adakah ia mempunyai lawan? Kami tidak tahu. Yang jelas ia punya
banyak kawan, bahkan pengagum, la bisa mengambil jarak dari
mereka yang ditulisnya: dekat tanpa menjadi sekedar humas, jauh
tanpa terlanjur menjadi musuh. Tentu saja tak selamanya ia bisa
menyenangkan mereka yang mengira, bahwa di luar puji-pujian,
yang lain adalah kritik.

Husni -- seperti pers di Indonesia ini -- tak jarang harus
mengalami kenyataan bahwa pujiannya sering dianggap sudah
selayaknya, sementara kritiknya tidak. Barangkali begitulah
kaidah hidup: kritik selamanya lebih keras terdengar dibanding
dengan ucapan selamat. Kritik bisa menimbulkan dendam, sedang
pujian -- gampang dilupakan.

Tapi untunglah pers bukan berkisar pada soal mengritik dan
memuji melulu, seperti yang banyak disangka orang. Husni lebih
banyak berbuat untuk daerahnya dari sekedar itu. Ia, yang lebih
lama bekerja di bidang jurnalistik ketimbang banyak rekannya di
majalah TEMPO, adalah satu tauladan.

Dalam hal-hal tertentu mungkin ada yang bisa menggantikannya.
Tapi Husni hanya Husni. Inna Lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Cerita : Mao Tse-tung

DI TAHUN 1976 Mao Tse-tung menulis sebuah pesan berbentuk sajak.
Buat Chiang Ching, isterinya - sebagaimana diungkapkan oleh Dr.
Roxane Witke, setelah wawancaranya yang terkenal dengan wanita
itu.

"Kata-kata yang sedikit ini mungkin pesanku yang terakhir
untukmu", tulis Mao. "Hidup manusia terbatas, tapi revolusi tak
mengenal tepi. Dalam perjuangan selama sepuluh tahun terakhir
ini aku telah mencoba mencapai puncak revolusi, tapi aku tak
berhasil. Kau mungkin bisa mencapai yang tartinggi. Jika kau
gagal, kau akan terjun ke dalam ngarai yang tak terukur
dalamnya. Tubuhmu akan lumat. Tulangmu remuk".

Kita tak tahu bagaimana nasib Chiang Ch'ing kini, kecuali bahwa
dia - dalam tata kekuasaan - memang telah jatuh ke ngarai yang
ngeri itu. Beberapa tahun yang lalu ia hampir merupakan wanita
paling barkuasa di dunia. Kini segala jenis makian dan
kebencian dimuntahkan kepadanya.

Rasanya jadi jelas apa yang ingin dilukiskan oleh Mao. Jika ia
sendiri menyatakan, bahwa ia tak berhasil mencapai "puncak
revolusi", ia pastilah bukan si "mahakuasa" di Tiongkok modern.
Setiap rakyat memang beramai-ramai memasang gambarnya, mengutip
kata-katanya (bagaikan doa) dan menyatakan kepatuhannya kepada
sang Ketua -- tapi itu rupanya tak menjamin suatu kesempatan
yang penuh bagi Mao.

Bukan karena kesetiaan itu pasti palsu. Tapi karena memang tidak
ada jaminan bagi siaPapun juga, bahwa kekuasaan bisa bekerja
sampai penuh. Mao Tse-tung kemudian menemui ada musuh dalam
partainya sendiri. Ia bahkan merasakan bahwa tempat tinggalnya
disusupi mata-mata. Dalam cerita Chiang Ch'ing, disebutkan
bagaimana Lin Piao, orang yang ditunjuknya jadi calon
penggantinya, ternyata kemudian meracuni makanan Mao secara
pelan-pelan. Dan kenyataan bahwa Mao tak bisa menjamin masa
depan isterinya sendiri, memperlihatkan segi tragik dari
kekuasaan itu sendiri.

Segi tragik itu ialah tidak cocoknya niat berkuasa dengan tidak
pernah mutlaknya kekuasaan itu. Segi tragik itu semakin jelas,
bila kita saksikan bagaimana niat ke pusat kekuasaan itu sering
mengorbankan banyak hal -- dan betapa kegagalannya bisa berarti
kehancuran, hingga "tubuhmu akan lumat", dan "tulangmu remuk".

Maka sungguh perlukah orang menempuh jalan yang kejam untuk
memperolehnya?

Seringkali, sayangnya, kita tidak dapat menjawab masalah itu
dengan mudah. Sejarah dapat memperlihatkan hal-hal yang suram
dan memaksa orang untuk memandang dingin. Di waktu kecil gadis
yang kemudian bernama Chiang Ch'ing itu berjalan pulang dari
sekolah. Ada seorang lelaki tua memanggul pikulan. Di tiao
ujungnya bergantung kepala manusia, habis dihukum Pancung oleh
penguasa, masih mengucurkan darah. Gadis kecil itu pun lari
pulang, melemparkan bukunya dan roboh di tempat tidurnya, jadi
demam. "Saya kira itu cukup untuk menunjukkan pada anda sesuatu
dari masa kecil saya", ujarnya kemudian dengan kalem.

Kita tak tahu apakah di matanya tersirat pedang dan darah:
lambang yang salah bagi pengertian kekuasaan.

Saturday 16 July 2016

Cerita : Hak asasi

TIAP zaman punya pertanyaan pokoknya sendiri.

Pertanyaan pokok zaman menjelang akhir 1977 barangkali adalah:
samakah pengakuan hak-hak asasi manusia dengan Coca Cola?

Samakah? Jawabannya tergantung dari banyak faktor. Tapi mungkin
orang Indonesia akan menyahut sesuai dengan letak duduknya,
nasib mulutnya atau kecenderungan Orde-nya. Lama atau baru,
Silakan pilih

A. Pengakuan akan hak-hak asasi manusia adalah sama dengan Coca
Cola. Keduanya produk Amerika. Keduanya menyatalkan diri bisa
"di mana saja, kapan saja." Keduanya mau diekspor ke tanah lain.
Keduanya termasuk "imperialisme kebudayaan asing," yang mau
merembes masuk ke negeri kita. Keduanya patut ditolak.

B. Pengakuan hak-hak asasi manusia harus dibedakan dari Coca
Cola. Sebab Coca Cola itu minuman orang-orang berjiwa
internasional, boleh disenangi orang banyak -- tentunya kalau
punya uang -- dan karena itu modalnya layak ditampung di sini
tanpa banyak reserve. Sementara itu pengakuan hak-hak asasi
manusia harus dilihat-lihat dulu, atau lebih baik ditolak saja,
karena mungkin tidak cocok untuk kebudayaan dan kerongkongan
kita.

Mungkin kita memang berbeda dengan orang India. Setidaknya
dengan para pemimpin India kini. Di bawah Perdana Menteri Desai
yang sangat sederhana hidupnya, yang meminum air kencingnya
sendiri sebagai obat, India menuntut syarat berat dari Coca
Cola. Perusahaan minuman itu pun memutuskan untuk lebih baik tak
menanam modal di situ. Sementara itu di bawah Desai pula,
pengakuan hak-hak asasi manusia dipulihkan -- mungkin karena
itulah yang lebih dibutuhkan sebagai "the Real Thing".....

PENGAKUAN akan hak-hak asasi manusia sebetulnya memang tak bisa
karena didesakkan. Presiden Amerika Jimmy Carter mungkin berniat
baik -- ia seorang yang taat beragama -- tapi Amerika Serikat
biasa dikenal sebagai kekuatan besar. Kekuatan besar tak mudah
untuk dipercaya sebagai, sekaligus, kekuatan moral. Ia selalu
terasa mendesak.

Mungkin itu juga sebabnya Peter L, Berger bertanya rialam
majalah Commentary nomor September 1977: "Universilkah Hak-hak
Asasi Manusia?"

Berger, seorang sosiolog, mencoba meyakinkan. Baginya,
pelanggaran hak asasi manusia yang paling kasar -- pembunuhan
massal, oleh pemerintah sendiri atau penakluk, penyiksaan dalam
tahanan, penyingkiran penduduk dari tempat tinggal dan keluarga
dan lain-lain -- bisa dihukum dengan mengingatkan orang pada
"konsensus yang lebih luas ketimbang yang ada pada peradaban
Barat." Konsensus itu menurut Berger, lahir dari semua
kebudayaan besar di dunia, "terutama dalam dasar-dasar
agamanya."

Yang menyedihkan ialah bahwa tak selamanya terbukti dasar agama
bisa mengerakkan hati orang untuk tidak menyiksa, tidak menahan
orang yang belum tentu bersalah selama 10 tahun, tidak
membungkem suara yang pantas mengeluh. Prinsip inii mulia
ternyata tiba-tiba bisa menghilang begitu pintu tahanan
ditutupkan dan kenikmatan menindas orang lain menggejolak.
Bahkan prinsip itu sering membikin kita merasa paling benar dan
paling suci -- dan seperti mendapatkan lisen si untuk melikwidir
pendapat dan kehadiran orang lain.

Maka mungkin yang dibutuhkan ialah suatu sejarah. Yang
dibutuhkan agar kita bisa mengakui dengan teguh hak-hak asasi
manusia mungkin ialah pengalaman, tentang kapasitas manusia
untuk berbuat tak adil sewenang-wenang. Terutama bila kita
berada dalam todongan ketakutan, sendiri.

Cerita : Gerakan politik

DALAM usia muda, 24, Jalaluddin Rumi menggantikan ayahnya: jadi
guru theologi. Tapi pada tanggal 30 Nopember 1944, tiga belas
tahun setelah itu, muncullah di daerah Rum (kini: Anatolia) di
Asia Kecil itu seorang tokoh lain. Namanya Shamsuddin. Ia orang
dari Tabriz.

Lelaki yang datang tiba-tiba ini dua tahun kemudian menghilang
pula tiba-tiba. Ia dibunuh. Ada yang mengatakan ia mirip
Sokrates: mengguncang keyakinan orang dengan pertanyaan demi
pertanyaan yang mendasar, agar orang bebas dari kebekuan
doktrin. Ada yang mengatakan ia adalah darwish (sufi)
pengembara, yang memikat Jalaluddin ke dalam persahabatan
mistik.

Jalaluddin memang ternyata tergerak olehnya. Mungkin ia sendiri
telah punya kecenderungan sufi sejak lama.

Apa pun sebabnya, setelah pertemuan dengan Shamsuddin dari
Tabriz, Jalaluddin meninggalkan tugasnya mengajar theologi
formal. Ia jadi penyair, sufi besar yang menulis sajak mistik
berpuluh ribu kuplet. Orang mengatakan Rumi bersajak seraya
menari. Orang mengatakan puisinya bangkit oleh nafiri dan
gendang, bunyi palu pandai besi dan kincir air. Orang mengatakan
Rumi sering berkunjung ke Meram, untuk menikmati alam bersama
para muridnya.

Yang menarik ialah bahwa di antara muridnya ada orang Nasrani
dan Yahudi. Dalam Fihi ma fihi, kumpulan catatan percakapan
Jalaluddin, ada satu bagian yang bercerita bagaimana orang-orang
bukan Muslim ikut menangis, terbawa perasaan oleh kata-kata sang
guru. Kenapa demikian, seorang murid bertanya. "Toh setiap orang
mengakui ke-Esa-an Tuhan," jawab sang guru.

"Tak tahukah engkau," tanyanya pula, "bahwa banyak jalan menuju
Ka'abah?"

Itu tak berarti bahwa "semua agama sama saja." Namun seperti
dikatakan dalam Sufi Essays (1972) oleh Seyyed Hossein Nasr,
"kunci yang diperlukan untuk membuka pintu ke arah suatu
pertemuan sejati dengan agama-agama lain sudah disediakan oleh
Sufisme." Itu sepanjang menyangkut tradisi Islam.

Sayangnya, setidaknya menurut sarjana kelahiran Teheran yang
banyak memperkenalkan Islam ke dunia Barat itu, sejak abad ke-18
Sufisme sering ditolak sendiri oleh gerakan Islam puritan yang
rasionalis dan anti-mistik. Dunia Islam terdesak oleh peradaban
Barat, dan semua itu -- menurut kalangan Islam modernis-akibat
Sufisme. Maka gerakan anti-mistik itu pun, kata Nasr, mencoba
menghidupkan kembali Islam dengan menanggalkan segi spirituil
dan metafisiknya.

Umat Islam di negeri-negeri bekas jajahan memang terdesak, baik
oleh penguasa Barat atau "orang atas" pribumi yang lebih dekat
dengan Barat itu. Atau Islam jadBtempat berhimpun gerakan rakyat
yang tak puas dalam menghadapi para bendoro yang, bersama bir,
bedil dan belanda, naik kereta megah kekuasaan. Sejarawan
Sartono Kartodirdjo, misalnya, bisa bicara panjang tentang
bagaimana para kiyai di Jawa memimpin protes si jelata.

Maka bisa difahami jika Islam kemudian nampak lebih sebagai
gerakan sosial politik, mencoba melawan keterdesakan. Maka bisa
dicatat bagaimana kesatuan, kekuatan, massa, militansi -- semua
itu jadi kebajikan baru. Yang agak pudar dalam suasana begitu
ialah wajah kehidupan beragama yang tersenyum tulus, yang bisa
mengerti -- seperti Rumi -- "banyak jalan menuju Ka'bah." Ketika
perlawanan jadi hal terpenting, orang lazim bersikap: "siapa
yang tak bersama kami adalah musuh kami."

Ada semacam hawa totaliter di situ. Maka berdosakah yang
mengingatkan, agar kehidupan beragama tidak digerakkan dengan
hanya semangat'pakaian seragam"? Tidakkah di zaman ini
diperlukan dialektik antara kecenderungan "gerakan massa" dengan
kecenderungan yang sehat dari Sufisme -- yakni yang menekankan
makna "pribadi" dalam perhubungan kita dengan Tuhan?

Setidak-tidaknya karena di depan-Nya kita tak
mempertanggungjawabkan dosa secara massal. "Kamu akan datang
kepada Kami satu-satu, seperti Kami ciptakan kamu dahulu"
--Qur'an.

Cerita : Kebebasan

ADA sebuah kata Sepanyol yang sangat menakutkan, comprachicos.
Pengarang Perancis Victor Hugo pernah bercerita tentang ini.
"Para pembeli anak-anak" itu membayar dengan harga tertentu
bocah-bocah kecil untuk kemudian dijual lagi --setelah tubuh
mereka dibikin ganjil.

Dalam kisah Hugo itu, ada comprachicos yang membeli seorang anak
kecil lalu menaruhnya dalam sebuah vas porselin yang berbentuk
aneh. Di waktu malam vas itu dibaringkan, agar si anak bisa
tidur. Di pagi hari vas itu ditegakkan kembali. Bertahun tahun
lamanya hal itu mereka lakukan, dan dalam proses itu, daging
serta tulang si anak tumbuh sesuai dengan bentuk vas. Setelah
dianggap cukup, vas itu pun dipecahkan. Anak itu keluar dari
sana, dan lihatlah: tubuhnya berbentuk jambang!

"Mereka menghambat pertumbuhan, mereka menyelewengkan corak
perwujudan," kata Hugo tentang para comprachicos. Dengan kata
lain, mereka membikin bonsai -- keahlian orang Jepang di bidang
pembentukan tanaman itu -- dengan jasad manusia.

Kini, alhamdulillah, tak ada lagi "seni" seperti itu. Tapi masih
banyak anakanak yang terhambat Pertumbuhannya karena pada
mereka tak ada kasih yang tepat. Karena Pada mereka tak ada
kepercayaan yang perlu dan tentu saja, kebebasan. Anak-anak itu
pun takut bahkan untuk senyum, apalagi buat berbicara bebas dan
mencipta sendiri. Tubuh mereka mungkin normal, tapi jiwa mereka
adalah sebuah hasil bonsai.

Seperti mereka, jiwa suatu bangsa pun jangan-jangan bisa
dibonsai: suatu masyarakat yang tak menggeliat-geliat sedikit
pun ketika dimjak, dengan kata lain, masyarakat yang tidak bisa
lagi tumbuh, jadi aneh, tidak wajar.

Namun untunglah, tak pernah dalam sejarah modern ada masyarakat
seperti itu. Juga belum pernah, dalam abad ke-20 yang tidak
tenteram ini, ada penguasa yang dengan senyum seram seorang
comprachico mau mengubah jiwa manusia jadi lempung yang selalu
patuh untuk dibentuk jadi apa saja. Biar pun sungguh muram Yang
kita dengar tentang Kamboja atau Chili, barangkali lebih banyak
penguasa yang sebenarnya cuma cemas kepada kemerdekaan manusia.

Kecemasan itu bukan cuma milik para diktatur. Ketika Revolusi
Perancis pecah dan segala seruan berteriak tentang kemerdekaan,
yang cemas tak kurang adalah seorang negarawan dan publisis
Inggeris terkemuka, Edmund Burke (1729-1797), yang "mencintai
suatu kebebasan yang jantan, moral dan teratur." Burke bukan
penganjur kediktaturan. Tapi dalam satu risalah termashur yang
terbit tahun 1790, ia ragu haruskah ia misalnya memberi selamat
kepada seorang gila, yang telah lari diri dari kekangan selnya,
dan memperoleh kembali nikmatnya kebebasan.

Selalu memang ada alasan untuk cemas bahwa kemerdekaan bisa jadi
demikian abstrak dan luas, hingga bisa berlaku bagi orang Yang
tersinting sekalipun. Kebebasan memang mengandung hal-hal yang
mencemaskan. Tapi justru karena itu ia memikat banyak orang.
Kemerdekaan, dengan begitu, adalah semacam sensasi.

Mungkin itulah sebabnya kita harus meninjau kemerdekaan dengan
cara lain. Kemerdekaan bukanlah semacam ruangan, dengan ukuran
pasti dan mutlak dan kita bisa dengan mudah berkata, bahwa
kurang dari itu berarti penindasan dan lebih dari itu adalah
anarki. Kemerdekaan mungkin perlu dilihat sebagai sesuatu yang
terletak dalam situasi yang dinamis.

Maka akan nampaklah bahwa sejarah adalah riwayat tarik-tambang
antara mereka yang cemas akan kebebasan dengan mereka yang cemas
akan ketidak-bebasan. Maka akan tampaklah bahwa tarik-tambang
itu tak akan pernah selesai, tak pernah mencapai titik yang
sudah bisa dibilang final. Akan ada orang cemas semacam Burke.
Akan ada juga orang yang bersuara menentangnya. Akan ada
ThomasPainryang menulis The Rights of Man.

Dalam kata-kata Chairil Anwar, "Keduanya harus dicatat, keduanya
dapat tempat." Sebab sebuah bangsa bukanlah sebuah monolog.

Cerita : Demokrat

DI cuaca buruk bulan Maret 1809 seorang lelaki tua nampak
rnengendarai k.uda - dari kota Washington. Umurnya 66 tahun,
tapi tubuhnya yang jangkung masih gagah -- cukup kuat untuk
terlonjak tegak di atas pelana selama 8 jam. Ia melintasi salju
yang merintangi pandang. Ia seharusnya naik kereta tadi. Tapi
begitu buruk dan roda kereta itu berkali-kali selip. Dan ia tak
sabar lagi. Lain cepat-cepat pulang. Masa jabatannya telah
selesai. Ia adalah Thomas Jeffer. Ia baru saja rampung sebagai
Presiden setelah 8 tahun memerintah.

Sebenarnya ia dapat dipilih kembali. Ia penulis utama Deklarasi
Kemerdekaan merika yang termashur. Ia pemikir dan tokoh politik
terkemuka bagi negeri yang baru itu. Dan ia punya prestasi Yang
cukup mengesankan sebagai administrator selama jadi kepala
negara. Maka, apa sulitnya untuk menduduki jabatan terhormat
buat ketiga kalinya? Namun ia menolak. Ia meninggalkan ibukota
dengan rasa mau ke kampung halamannya di pedalaman, di
Monticello.

Juga dengan rasa gembira. Dan ini nampak ketika Presiden
penggantinya, James iadison, dilantik. Apabila dalam kemeriahan
itu Kepala Negara Yang baru tampak pucat dan gemetar, sebaliknya
Jefferson tampak santai dan enak.

Malam harinya, waktu pesta dansa pelantikan, Jefferson datang.
Padahal sejak isterinya meninggal 40 tahun sebelumnya, ia tak
pernah nongol ke pesta. Tapi mam itu ia berdansa dengan riang.
Ketika sementara tamu bertanya kenapa ia begitu mpak berbahagia,
sedangkan Presiden yang baru tampak pucat, Jefferson menjawab:
"Beban ini telah lepas dari pundak saya, dan dia kini yang
mendapatkannya " sejak hari itu ia memang merasa bebas dari apa
yang disebutnya sendiri sebagai "borgol kekuasaan" ....

Tak banyak orang yang menganggap kekuasaan sebagai borgol. Lebih
banyak melihatnya sebagai gelang emas yang (alangkah nikmatnya!)
bisa bikin orang rapi Jeverson adalah demokrat sampai ke
sungsum. Di tahun 1811 ia menulis: tak pernah saya dapat
membayangkan, bagaimana suatu makhluk yang berakal dia dapat
menawarkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dari kekuasaan yang
dipakainya atas orang lain." Menjelang ia pulang ke Monticello
ia menulis dengan gaya tab kepada para tetangganya yang
bermaksud menyambut: "Bolehkah saya hanya, di hadapan seluruh
dunia, sapi siapa Yang saya pernah ambil, atau siapa yang telah
saya rampas haknya, Siapa yang telah saya tindas, atau siapa
yang telah ia terima uang suapnya sehingga mata saya jadi
tertutup?"

Penulis biografinya Yang bagus, Fawn M. Brodie, dalam Thomas
Jefferson, Artimate History (1975) mengomentari Pertanyaan itu
seakan-akan Jefferson tengah diserang dengan kecaman. Mungkin
benar dalam arti bahwa ia sendiri tengah mengadili dirinya,
seraya mengingat kembali singgasana yang baru dilepasnya itu.
masa ia memerintah ia memang begitu sederhana. Seorang Senator
malah pernah mengira orang yang berjas Panjang coklat dengan
sepatu tanpa hak itu adalah seang pelayan -- padahal itulah sang
Presiden. Puteri-puterinya sendiri tahu keadaan uangan sang ayah
yang sedang jadi kepala negara itu: hutangnya meningkat, karena
kegemarannya menjamu orang, tanpa menjadi korup.

Tapi di segi lain, laki-laki ini bukannya tanpa kelemahan. Dalam
masa menduda, ia hubungannya yang tertentu dengan budak
wanitanya yang cantik, Sally Heings. Di masa muda ia pernah
dibisik-bisikkan mau menggoda seorang isteri teman. Dan waktu di
Paris, ia pernah jatuh cinta kepada isteri seorarg lain - serta
menulis surat cinta panjang yang sangat bagusnya.

Mungkin karena menyadari bahwa dirinya bukan di luar dosa itulah
Jefferson. Meninggalkan sesuatu yang ternyata memang berharga
bagi orang Amerika beberapa generasi kemudian: satu ide tentang
kekuasaan dan batas manusia, dan juga satu contoh perbuatan yang
sejati. Maka ia berhasil menyeberang abad, ia melihat ke "depan
bersama sejarah, ia tidak dikutuk.

Cerita : Belajar dari sejarah

SEJARAH bisa saja dimulai dengan salah sangka. 15 Juli 1945,
para pendiri Republik Indonesia berdiskusi tentang suatu
konstitusi yang akan rnereka jadikan dasar bagi negara yang
tengah mereka siaPkan. Pembicaraan pun menyangkut soal "hak-hak
warganegara" --Yang kini bisa disebut sebagai "hak-hak asasi".
Ada dua pendapat yang saling berhadapan.

Di satu pihak, Bung Karno yang menolak. Baginya hak-hak asasi
ini mewakili paham individualisme, dan bertentangan dengan paham
kekeluargaan yang mendasari konstitusi yang sedang dirancang. Di
pihak lain, Bung Hatta setuju. Baginya hakhak itu perlu
dicantumkan untuk menjaga agar negara jangan jadi negara
"penindas."

Orang kini bisa mengatakan bahwa Bung Hatta ternyata benar, dan
Bung Karno salah. Namun kesalahan dapat juga direlatifkan.
Dibicarakan 32 tahun yang lalu diskusi itu memang terasa
akademis. Patriot mana Yang waktu itu bisa percaya-apalagi Bung
Karno -- bahwa bangsanya sendiri bisa juga menindas. Pada saat
berkuasa? Nasionalis mana yang tak melihat dirinya sebagai
bagian dari satuan manusia yang unik, yang bisa menghindarkan
kesalahan penjajah di masa silam?

Bung Karno waktu itu tentunya hanya melihat manis dan rukunnya
bangsa Indonesia, dan pengabdian para pemimpinnya. Ia mengira
bahwa yang harus dijaga hanyalah keharmonisan masyarakat, dalam
menghadapi individualisme. Ia belum melihat, bahwa ternyata juga
perlu dilindungi nasib orang seorang, dari cengkelaman
kekuasaan, yang tak jarang memakai nama "rakyat" atau
"masyarakat". 32 tahun yang silam belum terdengarkan tangis
seorang ayah, Yang digusur begitu saja dari nasib baik, oleh
bangsanya sendiri, dan tak berdaya.

Dalam hal seperti itu generasi sekarang lebih "beruntung". Kita
lebih banyak bahan. (,enerasi sekarang lebih banyak bisa
mempelajari hasil penelitian tentang masyarakatnya sendiri, yang
di zaman dulu belum pernah dilakukan. Generasi kini juga dapat
melihat apa yang dulu tak terlihat.

Dulu siapa bicara soal polusi, kehidupan Yang konsumtif,
kemungkinan habisnya minyak bumi dan bahaya ledakan penduduk?
Dulu siapa yang menyimak "Revoiusi Kebudayaan" RRT, buruknya
pengalaman pembangunan Brazil, dan seramnya pemerintahan
Kamboja? Dulu siapa melihat kegagalan Pakistan, tragisnya para
pengungsi Vietnam, dan meluasnya korupsi di Indonesia?

Pemimpin dan pemikir besar belajar banyak, taPi sebuah bangsa
belajar lebih banyak lagi. Kita semua kini terdiri dari sejarah
yang lebih lanjut. Kita semua terdiri dari bermacam aliran
pikiran, latar belakang sosial-kulturil, dan berbagai
kepentingan, yang -- jika didengarkan semua secara seksama dan
bebas -- akan memperkaya batin kita.

Pemikir-pemikir yang lahir di waktu lampau bisa memperkaya batin
kita, jika kita memandang mereka dengan sikap seorang murid.
Tapi bukan pribadi mereka yang jadi guru, melainkan pengalaman
mereka -- termasuk pengalaman mereka dalam kesalahan dan
keterbatasan. Mereka juga bisa memperkaya jiwa kita, jika kita
tak menganggap bahwa yang satu harus menghilangkan yang lain --
bahwa antara paham yang berbentrokan dulu tak akan bisa ada
rekonsiliasi.

Semesta sejarah republik betapa pun tak bisa dijawab hanya oleh
satu pikiran dari satu zaman. Satu orang tak ada yang mutlak
besar pikirannya hingga terlalu besar pula kesalahannya. Kita
akan jadi miskin hati kalau kita tidak mau merelatifkan
kesalahan dan kebenarannya.

Dengan sikap itu, kita lihat bagaimana zaman ini menyediakan
kesempatan untUK bertukar pikiran dengan lebih rendah hati
karena di hadapan kita masalah-masalah demikian hebatnya. Zaman
ini juga mendesakkan pentingnya buah pikiran yang lahir dari
pengalaman, dan tukar pikiran itu, karena te!ah terlalu banyak
terdengar ruah pikiran yang sebenarnya hana berdasar keinginan
melulu.

Entah jauh di dalam mana, Indonesia mengolah pemikir-pemikir
baru.

Friday 15 July 2016

Cerita : Nehru


SEORANG penulis Barat mengunjungi Diwan-i-Khas dan ia terpesona.
Gedung yang terletak di Agra ini dibangun oleh Kaisar Akbar,
penguasa India utara dalam abad ke-16. Di sana ada sebuah ruang
yang disebut sebagai ruang audiensi pribadi. Pusatnya adalah
sebuah pilar besar, berdisain Hindu dan Muslim. Memahkotai pilar
itu adalah tempat duduk Kaisar. Ke empat sudut ruang ada jalan
terentang. Di ujung-ujungnya terletak kursi buat tiap menteri.

"Rupanya", tulis pengunjung itu kemudian, "Akbar memang
melibatkan diri dalam perbenturan pendapat. Di sinilah citra
yang sempurna tentang kekuasaan politik dalam lingkupan dialog
yang bebas".

Tamu itu kemudian menceritakan kesannya kepada Nehru. Itu
terjadi 21 tahun yang lalu. Waktu itu sang Perdana Menteri masih
mengagumkan tapi orang sudah berbicara tentang tanda-tanda bahwa
ia capek.

Jawaharlal ternyata tidak ingat Diwan-i-Khas.

***

AKBAR memang biasa disebut seorang kaisar besar. Ia Islam, tapi
kerajaannya ia dasarkan pada rasa hormat kepada kebudayaan dan
agama Hindu. Ia menghapuskan pajak khusus atas orang
bukan-Muslim, menganjurkan agar penyembelihan sapi tidak
dilakukan, ikut serta dalam festival Hindu dan menggalakkan
studi karya klasik Sansekerta.

Dan ketika usianya baru 33 tahun, Akbar mendirikan ibadat-khana
di Fatehpur Sikri. Di dalamnya orang Islam dari pelbagai mazhab,
Para pastur Jesuit dari Goa, kaum Zoroaster, para pandit Hindu
dan para yogi, mendiskusikan masalah agama dengan Akbar sendiri.

Di abad ke-20, dalam kedudukan dan nama harum yang begitu rupa
(dia adalah seperti Bung Karno bagi Indonesia waktu itu)
pernahkah Nehru melibatkan diri dalam perbenturan pendapat?
Nehru nampak capek, kata sebuah teori, karena ia kesepian. Ia
tak dilingkungi oleh orang-orang yang setanding dengan dirinya.
Mungkin ia bosan.

Tapi mungkin juga ia tak memerlukan lingkungan yang terdiri dari
pikiran-pikiran gesit, tajam dan cemerlang. Cukup terkenal
tulisan di sebuah berkala di Calcutta di bulan Nopember 1937.
Tulisan ini memperingatkan rakyat India akan bahaya kediktaturan
Nehru. Tulisan itu ditulis oleh Nehru sendiri, tanpa
mencantumkan namanya.

***

MUNGKIN kebesaran Nehru bukanlah karena ia pada dasarnya seorang
demokrat. Kebesaran Nehru ialah bahwa kesempatan untuk
menyeleweng yang ada padanya ia kontrol sendiri kencang-kencang.

Ketika partainya dalam krisis kepemimpinan dan pemilu
diselenggarakan di tahun 1951, ia tetap berpesan: "Lebih baik
kita berhasil menjaga sukma kita dan kalah pemilu, ketimbang
menang lewat cara yang salah".

Puterinya kini mungkin akan belajar dari kata-kata itu. Juga
orang lain. Tapi baral1gkali pula ada yang akan berkata bahwa
mudah bagi orang seperti Nehru untuk berbicara seperti tadi,
karena ia belum pernah merasakan kekalahan. Kekalahan dalam
politik tidak hanya pahit, tapi juga bisa mengandung risiko. Di
beberapa negeri, beda antara pihak yang kalah dengan pihak yang
menang sering ditandai oleh penjara atau kuburan massal.

Nehru memang mungkin tidak membayangkan itu. Tapi mengapa ia
harus?

Wednesday 13 July 2016

Cerita : Werkudara

TOKOH kita kali ini adalah Werkudara: ia gelisah. Gambaran
populer tentang pahlawan wayang ini, putera kedua dalam keluarga
Pandawa ini, ialah seorang yang stabil, kokoh, bertubuh tegap.
Tapi menurut cerita tentang Dewa Ruci yang termashur itu,
Werkudara bukan cuma unggul dalam "kultur jasmani". Aneh juga
bahwa para pujangga Jawa lama memilihnya justru untuk tokoh yang
mencari di dunia batin.

Dalam Serat Cabolek, misalnya, karya Yasadipura I dalam masa
pemerintahan Paku Buwana IV, Werkudara digambarkan bukan sebagai
seorang yang ingin "menitis" atau dilahirkan kembali sebagai
raja. "Ada yang menitis dalam diri raja", tulis Yasadipura.
"Yang kaya harta dan kaya isteri. Ada yang ingin menitis dalam
diri pangeran, yang kelak memangku kerajaan". Semua itu, "adalah
untuk mendapatkan superioritas (kaluwihan)". Sang Werkudara,
sebaliknya, hanya ingin cukup arif untuk mengenal pribadinya
sendiri.

Mungkin bisa dibayangkan apa yang terjadi. Ia pangeran. Ia punya
hak untuk kekuasaan dan kemewahan. Tapi ia juga menyaksikan
kecemburuan dan nafsu di sekitarnya, juga untuk
kemewahan-kemewahan kecil. Sementara itu ia belajar tentang
kebajikan menahan diri dan bersikap mengalah. Ia dilatih untuk
memandang rendah segala hasrat menuntut benda duniawi. Maka
mungkin ia ragu, bisakah ia mengharapkan kemuliaan hati manusia?
Mungkin ia bertanya: manakah yang benar bagi kita semua --
hasrat duniawi atau tiadanya hasrat itu?

Artinya, ia harus mengerti, adakah sikap ksatria untuk menahan
diri merupakan sikap yang wajar Pertanyaan semacam itu adalah
pertanyaan tentang gambaran manusia. Adakah manusia itu makhluk
yang lemah tapi licin? Ataukah ia makhluk yang secara rohaniah
kuat untuk tidak terguncang oleh benda-benda? Tak mudah untuk
menjawabnya. Werkudara tidak mengadakan riset atau survai.
Sehebat-hebatnya riset toh hanya bisa melukiskan secara
terbatas. Karena itu, ia harus menengok jauh ke dalam lubuk
hatinya sendiri.

Dari situlah ia berangkat. Seorang yang menghalalkan nafsu, rasa
cemburu dan serakahnya sendiri akan melihat manusia bukan
sebagai makhluk yang luhur. Sementara itu, seorang yang pernah
berhasil melawan nafsunya, dan terus bertekad untuk itu, akan
melihat manusia lebih dari sekedar kelenjar hidup.

Dan Werkudara sampai pada kesimpulan yang kedua:

. . . manusia tinitah luwih, apan ingaken rahsa mulya dewe
saking kang dumadi.... (manusia ditakdirkan lebih dari semua
makhluk, terpandang sebagai Diri rahasia Tuhan, dan paling mulia
dari semua ciptaan).

Kita tidak tahu apa selanjutnya yang terjadi dengan kesimpulan
itu sampai saat kisah keluarga Pandawa berakhir. Cerita Dewa
Ruci memang episoda yang terpisah dari epos Mahabharata umumnya.
Tapi dengan keyakinan yang diperolehnya itu, tak sukar bagi Werkudara untuk bertahan dari rasa kekurangan badan dan rasa cemburu, selama dibuang di hutan. Agaknya sebab ia berbahagia, dengan mulut yang tak mengoceh.