Saturday 16 July 2016

Cerita : Hak asasi

TIAP zaman punya pertanyaan pokoknya sendiri.

Pertanyaan pokok zaman menjelang akhir 1977 barangkali adalah:
samakah pengakuan hak-hak asasi manusia dengan Coca Cola?

Samakah? Jawabannya tergantung dari banyak faktor. Tapi mungkin
orang Indonesia akan menyahut sesuai dengan letak duduknya,
nasib mulutnya atau kecenderungan Orde-nya. Lama atau baru,
Silakan pilih

A. Pengakuan akan hak-hak asasi manusia adalah sama dengan Coca
Cola. Keduanya produk Amerika. Keduanya menyatalkan diri bisa
"di mana saja, kapan saja." Keduanya mau diekspor ke tanah lain.
Keduanya termasuk "imperialisme kebudayaan asing," yang mau
merembes masuk ke negeri kita. Keduanya patut ditolak.

B. Pengakuan hak-hak asasi manusia harus dibedakan dari Coca
Cola. Sebab Coca Cola itu minuman orang-orang berjiwa
internasional, boleh disenangi orang banyak -- tentunya kalau
punya uang -- dan karena itu modalnya layak ditampung di sini
tanpa banyak reserve. Sementara itu pengakuan hak-hak asasi
manusia harus dilihat-lihat dulu, atau lebih baik ditolak saja,
karena mungkin tidak cocok untuk kebudayaan dan kerongkongan
kita.

Mungkin kita memang berbeda dengan orang India. Setidaknya
dengan para pemimpin India kini. Di bawah Perdana Menteri Desai
yang sangat sederhana hidupnya, yang meminum air kencingnya
sendiri sebagai obat, India menuntut syarat berat dari Coca
Cola. Perusahaan minuman itu pun memutuskan untuk lebih baik tak
menanam modal di situ. Sementara itu di bawah Desai pula,
pengakuan hak-hak asasi manusia dipulihkan -- mungkin karena
itulah yang lebih dibutuhkan sebagai "the Real Thing".....

PENGAKUAN akan hak-hak asasi manusia sebetulnya memang tak bisa
karena didesakkan. Presiden Amerika Jimmy Carter mungkin berniat
baik -- ia seorang yang taat beragama -- tapi Amerika Serikat
biasa dikenal sebagai kekuatan besar. Kekuatan besar tak mudah
untuk dipercaya sebagai, sekaligus, kekuatan moral. Ia selalu
terasa mendesak.

Mungkin itu juga sebabnya Peter L, Berger bertanya rialam
majalah Commentary nomor September 1977: "Universilkah Hak-hak
Asasi Manusia?"

Berger, seorang sosiolog, mencoba meyakinkan. Baginya,
pelanggaran hak asasi manusia yang paling kasar -- pembunuhan
massal, oleh pemerintah sendiri atau penakluk, penyiksaan dalam
tahanan, penyingkiran penduduk dari tempat tinggal dan keluarga
dan lain-lain -- bisa dihukum dengan mengingatkan orang pada
"konsensus yang lebih luas ketimbang yang ada pada peradaban
Barat." Konsensus itu menurut Berger, lahir dari semua
kebudayaan besar di dunia, "terutama dalam dasar-dasar
agamanya."

Yang menyedihkan ialah bahwa tak selamanya terbukti dasar agama
bisa mengerakkan hati orang untuk tidak menyiksa, tidak menahan
orang yang belum tentu bersalah selama 10 tahun, tidak
membungkem suara yang pantas mengeluh. Prinsip inii mulia
ternyata tiba-tiba bisa menghilang begitu pintu tahanan
ditutupkan dan kenikmatan menindas orang lain menggejolak.
Bahkan prinsip itu sering membikin kita merasa paling benar dan
paling suci -- dan seperti mendapatkan lisen si untuk melikwidir
pendapat dan kehadiran orang lain.

Maka mungkin yang dibutuhkan ialah suatu sejarah. Yang
dibutuhkan agar kita bisa mengakui dengan teguh hak-hak asasi
manusia mungkin ialah pengalaman, tentang kapasitas manusia
untuk berbuat tak adil sewenang-wenang. Terutama bila kita
berada dalam todongan ketakutan, sendiri.

0 comments:

Post a Comment