Saturday 16 July 2016

Cerita : Gerakan politik

DALAM usia muda, 24, Jalaluddin Rumi menggantikan ayahnya: jadi
guru theologi. Tapi pada tanggal 30 Nopember 1944, tiga belas
tahun setelah itu, muncullah di daerah Rum (kini: Anatolia) di
Asia Kecil itu seorang tokoh lain. Namanya Shamsuddin. Ia orang
dari Tabriz.

Lelaki yang datang tiba-tiba ini dua tahun kemudian menghilang
pula tiba-tiba. Ia dibunuh. Ada yang mengatakan ia mirip
Sokrates: mengguncang keyakinan orang dengan pertanyaan demi
pertanyaan yang mendasar, agar orang bebas dari kebekuan
doktrin. Ada yang mengatakan ia adalah darwish (sufi)
pengembara, yang memikat Jalaluddin ke dalam persahabatan
mistik.

Jalaluddin memang ternyata tergerak olehnya. Mungkin ia sendiri
telah punya kecenderungan sufi sejak lama.

Apa pun sebabnya, setelah pertemuan dengan Shamsuddin dari
Tabriz, Jalaluddin meninggalkan tugasnya mengajar theologi
formal. Ia jadi penyair, sufi besar yang menulis sajak mistik
berpuluh ribu kuplet. Orang mengatakan Rumi bersajak seraya
menari. Orang mengatakan puisinya bangkit oleh nafiri dan
gendang, bunyi palu pandai besi dan kincir air. Orang mengatakan
Rumi sering berkunjung ke Meram, untuk menikmati alam bersama
para muridnya.

Yang menarik ialah bahwa di antara muridnya ada orang Nasrani
dan Yahudi. Dalam Fihi ma fihi, kumpulan catatan percakapan
Jalaluddin, ada satu bagian yang bercerita bagaimana orang-orang
bukan Muslim ikut menangis, terbawa perasaan oleh kata-kata sang
guru. Kenapa demikian, seorang murid bertanya. "Toh setiap orang
mengakui ke-Esa-an Tuhan," jawab sang guru.

"Tak tahukah engkau," tanyanya pula, "bahwa banyak jalan menuju
Ka'abah?"

Itu tak berarti bahwa "semua agama sama saja." Namun seperti
dikatakan dalam Sufi Essays (1972) oleh Seyyed Hossein Nasr,
"kunci yang diperlukan untuk membuka pintu ke arah suatu
pertemuan sejati dengan agama-agama lain sudah disediakan oleh
Sufisme." Itu sepanjang menyangkut tradisi Islam.

Sayangnya, setidaknya menurut sarjana kelahiran Teheran yang
banyak memperkenalkan Islam ke dunia Barat itu, sejak abad ke-18
Sufisme sering ditolak sendiri oleh gerakan Islam puritan yang
rasionalis dan anti-mistik. Dunia Islam terdesak oleh peradaban
Barat, dan semua itu -- menurut kalangan Islam modernis-akibat
Sufisme. Maka gerakan anti-mistik itu pun, kata Nasr, mencoba
menghidupkan kembali Islam dengan menanggalkan segi spirituil
dan metafisiknya.

Umat Islam di negeri-negeri bekas jajahan memang terdesak, baik
oleh penguasa Barat atau "orang atas" pribumi yang lebih dekat
dengan Barat itu. Atau Islam jadBtempat berhimpun gerakan rakyat
yang tak puas dalam menghadapi para bendoro yang, bersama bir,
bedil dan belanda, naik kereta megah kekuasaan. Sejarawan
Sartono Kartodirdjo, misalnya, bisa bicara panjang tentang
bagaimana para kiyai di Jawa memimpin protes si jelata.

Maka bisa difahami jika Islam kemudian nampak lebih sebagai
gerakan sosial politik, mencoba melawan keterdesakan. Maka bisa
dicatat bagaimana kesatuan, kekuatan, massa, militansi -- semua
itu jadi kebajikan baru. Yang agak pudar dalam suasana begitu
ialah wajah kehidupan beragama yang tersenyum tulus, yang bisa
mengerti -- seperti Rumi -- "banyak jalan menuju Ka'bah." Ketika
perlawanan jadi hal terpenting, orang lazim bersikap: "siapa
yang tak bersama kami adalah musuh kami."

Ada semacam hawa totaliter di situ. Maka berdosakah yang
mengingatkan, agar kehidupan beragama tidak digerakkan dengan
hanya semangat'pakaian seragam"? Tidakkah di zaman ini
diperlukan dialektik antara kecenderungan "gerakan massa" dengan
kecenderungan yang sehat dari Sufisme -- yakni yang menekankan
makna "pribadi" dalam perhubungan kita dengan Tuhan?

Setidak-tidaknya karena di depan-Nya kita tak
mempertanggungjawabkan dosa secara massal. "Kamu akan datang
kepada Kami satu-satu, seperti Kami ciptakan kamu dahulu"
--Qur'an.

0 comments:

Post a Comment