Sunday 17 July 2016

Cerita : Mao Tse-tung

DI TAHUN 1976 Mao Tse-tung menulis sebuah pesan berbentuk sajak.
Buat Chiang Ching, isterinya - sebagaimana diungkapkan oleh Dr.
Roxane Witke, setelah wawancaranya yang terkenal dengan wanita
itu.

"Kata-kata yang sedikit ini mungkin pesanku yang terakhir
untukmu", tulis Mao. "Hidup manusia terbatas, tapi revolusi tak
mengenal tepi. Dalam perjuangan selama sepuluh tahun terakhir
ini aku telah mencoba mencapai puncak revolusi, tapi aku tak
berhasil. Kau mungkin bisa mencapai yang tartinggi. Jika kau
gagal, kau akan terjun ke dalam ngarai yang tak terukur
dalamnya. Tubuhmu akan lumat. Tulangmu remuk".

Kita tak tahu bagaimana nasib Chiang Ch'ing kini, kecuali bahwa
dia - dalam tata kekuasaan - memang telah jatuh ke ngarai yang
ngeri itu. Beberapa tahun yang lalu ia hampir merupakan wanita
paling barkuasa di dunia. Kini segala jenis makian dan
kebencian dimuntahkan kepadanya.

Rasanya jadi jelas apa yang ingin dilukiskan oleh Mao. Jika ia
sendiri menyatakan, bahwa ia tak berhasil mencapai "puncak
revolusi", ia pastilah bukan si "mahakuasa" di Tiongkok modern.
Setiap rakyat memang beramai-ramai memasang gambarnya, mengutip
kata-katanya (bagaikan doa) dan menyatakan kepatuhannya kepada
sang Ketua -- tapi itu rupanya tak menjamin suatu kesempatan
yang penuh bagi Mao.

Bukan karena kesetiaan itu pasti palsu. Tapi karena memang tidak
ada jaminan bagi siaPapun juga, bahwa kekuasaan bisa bekerja
sampai penuh. Mao Tse-tung kemudian menemui ada musuh dalam
partainya sendiri. Ia bahkan merasakan bahwa tempat tinggalnya
disusupi mata-mata. Dalam cerita Chiang Ch'ing, disebutkan
bagaimana Lin Piao, orang yang ditunjuknya jadi calon
penggantinya, ternyata kemudian meracuni makanan Mao secara
pelan-pelan. Dan kenyataan bahwa Mao tak bisa menjamin masa
depan isterinya sendiri, memperlihatkan segi tragik dari
kekuasaan itu sendiri.

Segi tragik itu ialah tidak cocoknya niat berkuasa dengan tidak
pernah mutlaknya kekuasaan itu. Segi tragik itu semakin jelas,
bila kita saksikan bagaimana niat ke pusat kekuasaan itu sering
mengorbankan banyak hal -- dan betapa kegagalannya bisa berarti
kehancuran, hingga "tubuhmu akan lumat", dan "tulangmu remuk".

Maka sungguh perlukah orang menempuh jalan yang kejam untuk
memperolehnya?

Seringkali, sayangnya, kita tidak dapat menjawab masalah itu
dengan mudah. Sejarah dapat memperlihatkan hal-hal yang suram
dan memaksa orang untuk memandang dingin. Di waktu kecil gadis
yang kemudian bernama Chiang Ch'ing itu berjalan pulang dari
sekolah. Ada seorang lelaki tua memanggul pikulan. Di tiao
ujungnya bergantung kepala manusia, habis dihukum Pancung oleh
penguasa, masih mengucurkan darah. Gadis kecil itu pun lari
pulang, melemparkan bukunya dan roboh di tempat tidurnya, jadi
demam. "Saya kira itu cukup untuk menunjukkan pada anda sesuatu
dari masa kecil saya", ujarnya kemudian dengan kalem.

Kita tak tahu apakah di matanya tersirat pedang dan darah:
lambang yang salah bagi pengertian kekuasaan.

0 comments:

Post a Comment