Sunday 17 July 2016

Cerita : Pemilu

SAMBIL mengunyah rujak cingur di restoran kecil itu seorang
teman bercerita tentang pemilu. Ceritanya pasti khayal dia
selalu begitu tapi yang hadir toh mendengarkan.

"Di lapangan Semprul", katanya memulai, "minggu lalu ada dua
kampanye sekaligus. Yang sebelah sini kampanye PPP. Yang sebelah
sana kampanye Golkar . . . ".

"Bentrokan . . . eh, percikan?", tanya salah satu pendengar.

"Nggak. Cuma kedua belah fihak balas membalas meneriakkan
slogan. Juru kampanye PPP berteriak: Fisabilillah!, dan massanya
pun menyahut: Fisabilillah!. Dan juru kampanye Golkar pun segera
membalas teriak . . . "

"Fisabilillah juga?"

"Bukan. Feasibility! Feasibility!, teriak mereka".

Semua pendengar ketawa.

"Leluconmu ada mencerminkan fenomen politik kita kini",
tiba-tiba seorang pendengar bersuara. Ia berkacamata. Mengingat
ia tadi naik mobil yang di kaca belakangnya ditulis "University
of Rawabelong", pasti dia sarjana. Karena itu barangkali hadirin
yang lain kini menyimak apa yang mau dikatakannya.

"Begini", katanya sambil melemparkan tusuk gigi. "Dewasa ini,
sedang diuji betulkah ideologi sudah mati di Indonesia.
Sebenarnya kata 'ideologi' itu bisa meleset. Yang mungkin ada
kini ialah serangkaian simbul-simbul, yang diterima bersama oleh
sekelompok orang, yang karena sejarah hidup mereka, jadi bagian
dari diri mereka. Ikatan dengan rangkaian simbul itu mungkin
tetap kuat. Ketika para intelektuil Orde Baru sepuluh tahun yang
lalu merumuskan gagasan politik mereka, mungkin mereka keliru.
Apa yang lazim disebut 'ideologi' itu belum mati karena susunan
sosial belum berubah, karena sejarah tak bisa diingkari -- juga
karena ternyata rakyat banyak, biarpun di desa-desa, bukan
sesuatu yang polos. Bukan sesuatu yang warnanya ditentukan oleh
para politisi, yang datang dari kota, dari atas, melainkan
sesuatu yang warnanya asli, ditentukan oleh lingkungan hidup
mereka . . . "

"Jadi anda berpendapat kaum intelektuil Orde Baru dulu itu
salah?"

"Saya tidak tahu, saya tidak tahu", kata si kacamata sambil
mengibas-ngibaskan serbet (dan butir-butir nasi berterbangan).
"Saya hanya bicara dengan kata 'mungkin'. Saya 'kan sarjana.
Kita masih harus melihat bagaimana hasilnya nanti".

"Lalu bagaimana penilaian anda tentang kampanye kini?".

"Yang pasti, pemilu sekarang bukan pemilu adu program yang
terbaik. Tapi tak mengapa. Program yang baik perlu juga
mengandung adanya kepercayaan bahwa ia bukan omong kosong. Maka
pada mulanya adalah kepercayaan, bukan program itu sendiri. Dan
kepercayaan- bisa timbul jika ada hubungan batin antara si
pembawa program dengan si pemilih. Hasil pembangunan Yang sudah
ada saja belum tentu menjamin kepercayaan itu. Hasil
pembangunan, biarpun baik, bahkan sering menimbulkan problim
baru, tuntutan baru . . . "

"Ah, saudara tidak suka Golkar, ya?".

"Lho, tidak begitu", si sarjana menangkis. "Saya bahkan
menggaris-bawahi bahwa banyak hasil pembangunan dari pemerintah
yang praktis sama dan sebangun dengan Golkar kini. Hasil itu
memang belum merata, tapi toh nyata. Namun Golkar tidak dapat
hanya membanggakan itu. Perlu didapatkan, simbul simbul apa yang
sama-sama mengikat pimpinan dengan hati massa rakyat. Tanpa
simbul itu, tanpa ikatan hati, pertalian mungkin tak tahan lama
.... "